Sejak awal, bangunan Gereja Santo Yusup
di Kampung Bintaran, Yogyakarta, sudah memikat perhatian orang. Bentuk
gedungnya khas, berlainan dengan bangunan gereja lain di masa itu. Bangunan
tadi lebih dikenal sebagai "Gereja Jawa Pertama di Yogyakarta".
Mengapa disebut sebagai Jawa? Pertama, karena sejak awal bangunan gereja tadi
memang dikhususkan bagi masyarakat katolik Jawa.
Pada masa itu, negara kita masih belum merdeka. Salah satu dam paknya adalah
juga menyangkut situasi kemasyarakatan pengunjung gereja, masih terlampau
besar jumlah warga Eropa.
Gereja Bintaran didirikan, mengingat semakin bertambahnya jumlah umat kathlik
di Yogyakarta, yang tak mungkin tertampung lagi dalam sebuah gudang di timur
Gereja Kidul Loji. Memang pada masa itu, gereja untuk masyarakat Jawa dibuat
secara darurat dibelakang Broederan F.LC.
Gereja Santo Yusup Bintaran memang bukan bangunan gereja pertama di Yogyakarta.
Beberapa gereja di bangun sebelumnya dan lebih dahulu berkarya namun dengan
struktur kemasyarakatan ketika itu, walaupun bangunan gereja memang terbuka
bagi setiap umat yang seiman tetap ada peraasan kurang nyaman mengikuti upacara
perayaam keagamaaa di bangunan model baru. Masyarakat Jawa belum biasa duduk di
bangku mereka masih mengenakan kain baik pria maupun wanita, sehingga jauh
lebih sreg jika bisa duduk bersimpuh di lantai.
Perasaan kurang akrab semacam ini, justru sulit muncul dari masyarakat Jawa
yang pendiam yang lebih senang membisu dalam menghadapi segala macam situasi.
Sungguh beruntung mereka karena suasana timpang ini bisa baca oleh orang lain
antara para pelopor pembangunan Gereja Bintaran, Romo H. Van Driessche dan
Bapak Dawoed seorang tekis pribumi. Kecuali ini, soal canggungan orang Jawa
masuk gereja bergaya Eropa, juga dipahami oleh Romo A. Van Kalken SJ, Regulier
Ovreste Missi Jesuit di Jawa masa itu.
Mereka inilah yang mempelopori dan menggugah semangat saudara-saudara seiman
yang berasal dari latar-belakang kebudayaan Jawa. Mereka kemudian melontarkan
gagasan, perlunya didirikan bangunan gereja baru di Yogyakarta yang memiliki
kelengkapan serta suasana, sesuai citarasa masyarakat setempat. Ketika itu,
masyarakat Katolik Jawa mengikuti upacara misa suci terpaksa saling
berdesak-desakan di sebuah gudang. Bangunan sempit, panjang dan sama sekali kurang
memadai
Tentu saja, masyarakat Katolik Jawa bisa saja mengikuti misa di bangunan
gereja setempat. Tetapi, entah karena apa mereka justru memilih bersembahyang
di gudang, samping Gereja Kidul Loji .
Kecuali tak memadainya gudang di samping Gereja Kidul Loji, juga muncul
keluhan, gudang tadi ternyata terlampau sempit, karena harus menampung
kehadiran 'domba-domba' barunya. Ini semua akhirnya mendorong pemikiran,
perlu dibangun sebuah gereja baru yang benar-benar cukup lapang untuk menampung
kegiatan umat Katolik yang senantiasa membesar jumlahnya Pilihan, akhirnya
dijatuhkan ke sebidang tanah di Kampung Bintaran, sebelah timur Sungai Code,
pada sudut jalan pertemuan Jalan Bintaran Kulon dan Bintaran Tengah.
Gereja yang diharapkan menjadi Gereja Katolik Jawa tadi, dibangun seluruhnya
dengan landasan beton. Perancangnya J.H. Van Oten B.N.A. dan dilaksanakan
pembuatannya oleh Holandsche Beton Maatschappij. Menurut catatan, bangunan
pertama Gereja Bintaran ini berukuran panjang 36 meter sampai di bangku tempat
komuni. Sebagian kiri dan kanan, sepanjang 20 meter. Lebar bagian tengah 10
meter dan bagian sisinya, masing-masing 5 meter, menjadikan keseluruhannya 20
meter.
Atap penaung bagian tengah tinggi 13 meter dari lantai. Atap tadi semula dicat
putih, sesuai dengan suasana di sekitarnya. lebih penting juga, dalam ruang
gereja, bangku-bangku masa hanya ada pada bagian belakang. Di sebelah depan,
dihampar tikar-tikar bambu tutul untuk tempat duduk (lesehan) masyarakat Jawa
yang ingin mengikuti upacara misa kudus. Dibanding dengan bangunan-bangunan
sezamannya, Gereja Bintaran mencatat keunikan tersendiri. Sinar matahari
dirancang bisa leluasa masuk menerangi bagian dalam ruangan. Sinar penerang
tersebut tidak melalui jendela jendela, melainkan sebagai ganti, terdapat 72
buah kisi-kisi (rooster) ganda, berjajar samping-menyamping dinding dari bahan
beton cor.
Ketika dimasyarakat pertamakali, Gereja Bintaran belum memiliki orgel. Sebagai
ganti, dibantu dengan harmonium. Guna lebih memantapkan umat yang hadir, pada
dinding gereja di tempel reproduksi lukisan berwarna, berbingkai kayu.
Gambar-gambar perjalanan kehidupan Tuhan Yesus ini ternyata sangat dihargai
masyarakat, sebab mereka bisa memanfaatkannya sewaktu mengikuti upacara Jalan
Salib.
Gereja Bintaran pertama kali diresmikan? Sebuah artikel dalam Majalah St.
Claverbond, melukiskan suasananya sebagai berikut:
"Sejak pagi-pagi sekali, banyak umat berduyun-duyun ke Bintaran, bagian
kota yang jadi jantungnya Yogyakarta. Ucapan serta salam tradisional kepada
para romo, pagi itu membuahkan arti sangat istimewa. Karena semua pihak segera
membayangkan bakal datangnya sebuah peristiwa besar. Pimpinan Gereja Katolik
dari Batavia (sekarang Jakarta) akan hadir sendiri guna memberkati bangunan
gereja baru. Semuanya diramaikan lewat pesta amat meriah".
"Sewaktu kami datang, sudah banyak warga masyarakat Jawa berkumpul di
halaman gereja. Sekelompok pandu (sekarang Pramuka) berkulit sawo matang
terbakar oleh sinar rnatahari berdiri tegap, berjajar memanjang di depan pintu
gereja yang masih tertutup. Tak seorangpun diijinkan masuk, sebelum saat
peresmian tiba."
"Sesaat jarum jam melewati angka tujuh, waktu penantian berakhir. Yang
Mulia Provicaris Romo A.Th. Van Hoof SJ langsung menuju ke depan. Diawali para
pelayan misa (putera altar) serta diiring dua rohaniawan terkemuka, Romo Van
Kalken SJ Regulier Ovreste Missi Jesuit di Jawa Romo G. Riestra SJ pastor
kepala di Yogyakarta masa itu. Prosesi keliling gereja segera dilakukan
dilengkapi dengan pemberkatan serta doa keselamatan bangunan.
"Setelah upacara di luar berakhir, dengan amat perlahan umat memasuki
bangunan baru yang sejak saat itu sudah resmi menjadi Rumah Tuhan. Nyanyian
bersama langsung membahana, dilakukan oleh para bruder, dibantu kelompok umat
pria serta para frater dari Kolese Ignatius".
"Seluruh tempat di bagian depan penuh sesak. Di atas tikar yang digelar
memenuhi ruangan, masyarakat Katolik Jawa duduk berhimpit-himpit. Di sebelah
kiri duduk para lelaki dan anak-anaknya, sedang di sebelah kanan duduk para
ibu dan anak perempuan mereka. Di belakang, di atas bangku, duduk para romo,
bruder, frater, warga masyarakat Eropa dan orang-orang Jawa terkemuka".
"Miss Kudus yang teramat khitmad dimulai. Quasimodo geniti infantes.
Nyanyian bersama bergema memenuhi sudut-sudut ruangan, bagai putera yang baru
saja dilahirkan. Dan .... lihatlah ke sana. Di arah depan, di atas tikar-tikar
bambu tutul, merekalah orang-orang yang baru saja terlahirkan, duduk bersila.
Kebanyakan dengan hati sangat sederhana, namun penuh hasrat dan kemauan suci,
guna ikut serta meraih harta rohani di dalam Kristus".
Minggu S April 1934, suasana peresmian Gereja Santo Jusup di Bintaran
Yogyakarta memang amat bersemarak. Dalam ruangan luas di belakang gereja, Aula
Paroki, yang sebagian dimanfaatkan untuk ruang sekolah dasar, hadirin diminta
berkumpul.
Pidato sambutan disampa oleh Romo Provicaris, pimpinan Missi serta dua orang
wakil masyarakat Katolik Jawa, Raden B. Djajaendra dan Raden Mas L. Jama
Keduanya bekas murid sekolah guru Muntilan yang saat itu bekerja di sekolahan
Bruderan Yogyakarta.
Hari itu, pada peresmian penggunaan Gereja Bintaran, jelas merupakan hari sarat
kegembiraan. Hanya sayangnya, salah seorang pemrakarsa pembangunannya, Romo Van
Driessche, tak bisa datang menghadiri. Beliau kebetulan terbaring di rumah
sakit dan para dokter dengan berat hati tidak memberikan izin berangkat ke
Bintaran. Tetapi tak mungkin dingkari, hati dan jiwa beliau, menyertai
kegembiraan umat dalam upacara semarak menyambut datangnya gereja baru milik
merereka.
Pada tahun 1959 di Bintaran, upacara pesta perak berlang sung penuh kesederhanaan.
Di samping Misa Kudus Tri Romo, sebagai tanda syukur atas Berkah Dalem kepada
gereja pada tanggal 2 sampai 7 Agustus 1959 diselenggarakan retret untuk umat
separoki guna lebih menggembleng kekuatan iman serta mengobarkan kehidupan
keagamaan di Paroki Bintaran.
Peringatan bersifat kerohanian empat puluh enam tahun yang lalu; ditutup dengan
pertunjukan wayang golek. Ditampilkan tanaggal 16 Agustus malam. Bertindak
sebagai dalang Ki Dalang Sukai, putera Ki dalang Widi dari Sentolo, Kulon
Progo. Malam itu, dipentaskan kisah "Jumenenganipun Proja Ngamarta"
(Berdirinya Kerajaan Amarta).
Romo pertama yang ditugaskan berkarya di Bintaran adalah Romo A.A.C.M. de
Kuyper SJ dibantu Romo Soegijopranoto SJ. Mereka berdua sudah dipercayai
memegang Paroki Bintaran sejak tanggal 12 Oktober 1933, satu tahun sebelum
bangunan gereja diresmikan penggunaannya.
Tahun 1836 Romo de Kuyper piadah ke Magelang. Secara otomatis Romo
Soegijopranoto menjadi pejabat kepala. Hal ini langsung dikukuhkan setahun
kemudian. Sebagai pembantu ditunjuk Romo B.Th. Hagdorn. SJ.
Hanya tiga tahun Romo Soegijopranoto memimpin Gereja Bintaran, sebab mulai
tanggal 1 Agustus 1940 beliau segera dipromosikan menduduki jabatan Vikeep
Keuskupan Semarang. Demikianpula dengan Romo Hagdorn, beliau dialihtugaskan ke
Klaten dan kedudukannya digantikan Romo Jac Huygens SJ.
Sejak tahun 1941 ditetapkan pimpinan baru di Bintaran. Guna mengganti Romo
Soegijopranoto ditunjuk Romo C. Martawerdaja SJ. Dalam karyanya ia dibantu Romo
M. Reksaatmadja SJ.
Hampir sepuluh tahun beliau berdua berkarya di Bintaran, sampai akhirnya
pimpinan tinggi gereja menetapkan Romo J. Drijkstra SJ dibantu seorang Imam
Praja menangani gereja kita.
Tahun 1963, pimpinan gereja beralih ke Romo P. Kijm SJ dibantu Romo Ant.
Soenarjo SJ. Romo Kijm terus memimpin Bintaran hingga tahun enam puluhan.
Pada tahun 1955 yang membantu Romo Kijm adalah Romo V. Soekosoemarto SJ dan
Romo A Dibyawahjana SJ. Sementara di tahun 1960 Romo Kijm dibantu Romo P.
Poerwohoetomo SJ.
Di pertengahan tahun enam puluh empat, romo yang berkarya di Bintaraa semakin
banyak. Empat romo pernah tercatat bertugas dalam periode ini: Romo H. Wakkers
SJ selaku pimpinan dibantu Romo P. Kijm ST, V. Soekosoemarto SJ dan A
Sontoboedojo SJ.
Setahun kemudian jumlah penggembala umat paroki bertambah lagi. Pimpinan tetap
dipegang Romo Wakkers tetapi romo pendampingnya adalah Romo M. Ferouge SJ, B.
Nissen SJ, Th. van der Putten SJ, V. Soekosoemarto SJ dan S. Budyardja SJ.
Tahun 1966 Romo Kepala di Bintaran dipegang Romo G. Oosthout SJ dibantu Romo
C. Martawardaja, B. Nissen dan Soekosoemarto.
Susunan tersebut tetap hingga tahun 1967. Romo pimpinan masih Romo Oosthout,
didampingi Romo G. Ferouge, C. Mertawerdaja dan B. Nissen. Kepemimpinan di
Bintaran bisa bertahan agak paajang, karena pergantian jabatan baru dilakukan
tiga tahun kemudian. Selaku romo kepala ditetapkan Romo B. Soemarno SJ dibantu
Romo G. Oosthout.
Satu tahun kemudian susunannya diperbarui. Pimpinan tetap Romo B. Soemarno
namun pendampingnya Romo J. Mulder SJ dan Romo Ign. Natakusuma Pr.
Mulai periode tahun ini pula kepemimpinan serta penanganan di Bintaran dipegang
romo-romo projo. Sebab di samping R Natakusuma datang juga Romo P.C.
Judodihardjo MSF.
Tahun 1972 dengan datangnya Romo Bl. Pujaraharja Pr. (sekarang Uskup Ketapang)
pembangunan pastoral dan Gereja Umat semakin intensif. Dibantu oleh Romo Al.
Budyapranata Pr. Romo Pujo mulai mengadakan kaderisasi dan penataran guru-guru
agama tingkat wilayah, retret umat dan gerakan Diakon Awam. Struktur Dewan
Paroki dan kepengurusan Dewan Paroki mulai dibuat mekanisme yang lebih serasi
dan lebih mudah dilaksanakan, misalnya dengan pertemuan pleno, seksi dan
harian. Berhubung tambahnya umat Katolik semakin banyak, maka diadakan sensus
atau pencatatan warga Katolik di seluruh paroki Bintaran.
Perkumpulan ibu-ibu Janda, yang disebut Elisabeth dan Worosemedi mulai muncul
pada tahun 1974, di bawah pimpinan Ibu C Hadisuseno, Ibu Soemoatmadja dan Ibu
Murtiwidjono. Karena tahun 1974 Gereja Bintaran dipakai sebagai KEVIKEPAN, maka
banyak kegiatan yang super-paroki mulai muncul. Beberapa pemugaran di luar
maupun di dalam gedung gereja mulai diadakan antara lain: pagar Gereja, intern
pasturan dan lain bagainya.
Aula Bintaran berkali-kali menampung kegiatan pastoral yang berbeda-beda.
Dengan hilangnya kegiatan-kegiatan lama, munculah kegiatan baru RUANG BELAJAR
untuk umum, ruang perpusatakaaa untuk sekolah, guru agama dan umum
Tahun 1875 KURSUS PERKAWINAN (Pembinaan Persiapan Keluarga) yang diprakarsai
Romo Al. Budyapranata Pr mulai dicanangkan buat seluruh DIY hingga saat ini.
Dan kegiatan ROMSOS KAS. juga berpusat di tempat yang sama.
Beberapa romo lain juga ikut andil dalam pembangunan Gereja Umat ini antara
lain romo D. Windyawiryana Pr., Romo Ign. Suharya (sekarang Uskup Agung
Semarang) dan Romo Al. Purwahadiwardaya MSF. Terutama pembenahan liturgi dan
kebaktian umat mulai terasa. Putra Altar mulai hidup dengan pesat, koor wilayah
berkembang dimana-mana. dan jadwal petugas liturgi mingguan secara rutin sudah
bisa berjalan dengan lancar.
Tahun 1978 hadir Romo L Wiryadarmaja Pr, Romo JC. Taruno Sayoga, Romo Ign.
Hariyadi (untuk kedua kalinya) dan Romo P. Supriyanta Pr. Gerakan muda-mudi
yang bergabung dalam K3AS mulai nampak. FORUM KOMUNIKASI antar Dewan Paroki se
Kotamadya dan DIY mulai berjalan dan terutama dikalangan kaum muda. Romo L.
Wiryadarmaja Pr. berhasil pula mencanangkan tonggak untuk Gereja Baru di
PRINGGOLAYAN sebagai putera sulung paroki Bintaran. Sebelumnya telah dirintis
pula pelebaran sayap Kring Mathias I (Gedong Kuning) hingga terhimpun umat
cukup untuk sebuah Gereja baru. Dan swasembada dari umat mengalir terus berkat
jasa Bapak Dewasusanta dan Bapak Sukirjo.
Sekitar tahun 1984 hadirlah Romo J. Sudiarta Pr. (sebagai pejabat Pastor Kepala
Bintaran) bersama Romo FX. Jakapranawa. Yang telah dirintis oleh romo-romo
sebelumnya diteruskan sehingga Paroki Bintaran tetap membawa warna, dan citra
yang sama. Demikian pula Gereja Pringgolayan akhirnya selesai dan dapat dipakai
sebagai tempat ibadat.
Berdasarkan data, antara bulan Juli 1935 sampai Juni 1936, warga Paroki
Bintaran berjumlah 4.695 orang diantaranya warga Eropa 26 orang. Perbandingan
ini mengkokohkan bahwa Bintaran memang Gereja Katolik Jawa di Yogyakarta.
Kegiatan selama tahun pertama karyanya juga cukup mengesankan. Selama itu
telah di permandikan saudara-saudara baru dewasa 233 orang dan baptis anak-anak
mencapai 177.
Dari 1.429 anak kecil yang setia mengikuti pelajaran agama di hari Minggu, 234
di antara mereka diizinkan menyambut komuni pertama. Pada waktu perayaan Paskah
tahun itu, jumlah umat penyambut kamuni Paskah mencapai 1.865 orang.
Selama setahun antara Juli 1935 dan Juni 1936 umat yang datang untuk ikut
menyambut komuni seluruhnya 98.022 orang.
Pada tahun-tahun pertama karyanya, Gereja Bintaran menjadi saksi pernikah
Katolik sebanyak 100 kali pernikahan campuran lewat despensasi mencapai 32 kali
Setiap Hari Minggu dan hari hari besar, ibadat di Biataran pada masa itu
dimulai pukul 06.00 dngan misa agung. Kemudian pukul 08.00 misa tanpa nyanyian.
Sore hari, pukul 17.30 diselenggaraka perayaan astuti
Di hari-hari biasa, pada tahun pertama tersebut, gereja Bintara
menyelenggarakan misa setiap pukul 06.30 pagi. Hanya pada setiap Jumat pertama,
misa berlangsung dua kali, pukul 05.30 dan 06.30 Dilengkapi oleh perayaan
astuti pada sore hari pukul 17.30. Gambaran tersebut sengaja agak lengkap
dikutipkan, untuk bisa ikut menandai, bagaimana kesibukan gereja kita di masa
itu. Sebelum Perang Dunia ke II, sempat perkembang di paroki kita kegiatan
Katholieke Wandowo, Pusoro. Katholieke Wandowo, Mudo Katholik, Mudo Wanito
Katholik dan Ruktiwuri/Pangruktilaya.
Bersama Wanita Katolik yang baru mekar dan berkembang di Bintaran, tahun 1937
MWK mengadakan kegiataan di 'kamar ijo' Pasturan Bintaran berupa kursus ketrampilan
(menyulam, membuat corsage, merangkai bunga dan berbagai kegiatan ke wanitaan
lainnya). Para tokoh awam yang banyak berperan dalam masa tersebut adalah Bapak
Djokarso, Djajengpragota, Djojoen dra, Jama, Sugiri, Murkilat Sidik dan Willy
Setiardja.
Kecuali ini, terintis kegiatan media massa yang dipelopori oleh Romo Al.
Soegijopranoto SJ berupa majalah berbahasa Jawa, Swaratama.
Pada masa periode perjuangan bersenjata aatara tahun 1942 sampai 1949, suasana
Paroki Bintaran; juga berganti. Pada periode ini Gereja Katolik memang
mengalami cobaan goncangan cukup besar. Banyak romo yang terpaksa harus masuk
kamp tawanan (diinternir) bahkan dilarang melaksanakan kegiatannya. Tetapi
berkat gigihan para katekis awam yang amat tangguh, bagaimanapun kegiatan
Gereja Bintaran tetap berjalan.
Dalam situasi semacam ini pula, Aula Paroki Bintaran menjadi ajang tempat
berlangsunnya Konggres dan rapat-rapat. Bahkan gereja kita menyumbang
tempatnya, dipakai selaku markas darurat. Pada saat yang hampir bersamaan,
sekitar tahun 1947 sekolah guru Katolik dan SMA de Britto juga mulai tumbuh
dari Bintaran. Berawal dengan menempati komplek aula serta Bintaran Ledok,
barat gereja. Hampir bersamaan dengan itu, sekolah Santo Thomas (yang sekarang
sudah berkembang menjadi SMA St. Thomas dan Yayasan Marsudi luhur) juga berdiri.
Tahun 1948, Gereja Bintaran mulai bergerak dengan semangat barv. Hal ini
didukung oleh terselenggaranya Kongres Umat Katholik Seluruh Indonesia (KUKSI)
dan Konggres Partai Katholik. Wanita Katholik (MK) yang sebagian besar
pengurusnya dari Paroki Bintaran juga ikut aktif mengambil bagian dalam
pertemuanpertemuan tersebut.
Mgr. Soegijopranoto SJ (alm.) sesudah ditahbiskan menjadi Uskup Semarang
sempat mampir lagi dan beliau ikut mendorong gerakan-gerakan kemasyarakatan
yang sedang mulai tumbuh serta berkembang di Bintaran. Pada saat itu pula,
pernah Presiden Soekarno menyempatkan diri berkunjung ke paroki kita, untuk
mengadakan pertemuan dengan Romo Soegijopranoto. dicatat, Romo Dijkstra bersama
Bersama Bapak Sarman merintis gerakan Tani/Buruh Pancasila yanga markan
besarnya di Bintaran. Demikian pula majalah Probo sebagai majalah paroki dan
media massa umat Katolik yang mulai ikut menempati salah satu ruangan di Aula
Paroki Bintaran dengan bimbingan Romo S. Danuwidjaja Pr.
Kurang lebih enam tahun kemudian, sebuah majalah muda-mudi yang bergairah
tinggi, mangat, juga menempati ruang di dekat Kantor Mingguan Probo. Mulai
pertama, Semangat datang di Bintaran dengan nama Spirit.
Kegiatan sosial yang memuncak di Bintaran adalah sewaktu umat berhasil
menghimpun pemberangkatan para transmigran menuju Lampung, Sumatera. Tempat
transit para saudara kita juga mengambil lokasi di Aula Bintaran. Dari tempat
yang sama, berhasil dikembangkan gerakan gereja intern. Yakni dengan
kegiatannya Maria Congregatie (MC) ketika melaksanakan apel besar di tanah
lapang Trenggono tahun 1954 bertepatan dengan kegiatan peringatan 100
memasyarakatnya.
Tak hanya kegiatan kemasyarakatan berkembaag dalam periode ini. Sebab Yuvenat
atau 1 pat pendidikan para calon bn SJ juga Pernah berada di lingki an
Bintaran, menempati Kantor Yayasan Kanisius cabang Yogyakarta yang ada sekarang
ini kegiatan khusus lainnya juga tambah banyak Kursus menjahit bagi para ibu
dan kursus sosial ekonomi yang diprakarsai oleh Badan Usaha Wanita Katoolik
(BUWK) serta kegiatan Werdatama.
Partisipasi gereja dalam membangun masyarakatnya nampak sekali dengan ikut
sertanya umat Bintaran dalam Partai Katolik yang masa itu dipimpin oleh Bapak
C.O. Tjiptasumarta. Periode perkembangaan dan pertumbuhan ini mencapai
puncaknya sekitar pergolakan G30S/PKI. Pada waktu inilah Gereja Bintaran menampilkan
diri sebagai Youth Centre, di mana para sarjana Katolik ISKI dan mahasiswa PM
KRI bermarkas di Bintaran.
Begitu pula sebuah pemancar radio bersemangat Katolik mulai mengudara dengan
nama Bikima, kependekan dari Bintaran Kidul Lima. Berbareng dengan ini, rombongan
drum-band kebanggaan umat Katolik di masa itu, Jaya Katolik, semakin sering
menghiasi parade baris-berbaris di Kota Yogyakarta. Gerakan-gerakan baru ini
dipelopori oleh Romo B. Nissen SJ. Di puncaki oleh berkembangnya rombongan
paduan suara Koor Sonus Serius, yang ikut mewarnai upacara liturgi dalam Gereja
Bintaran.
Angin baru meniup Paroki Bintaran dengan adanya pembagian batas wilayah
paroki, seperti yang ada hingga sekarang ini Pada tahun 1968 dibentuk Dewan
Paroki untuk pertama kalinya berikut kepengurusan kring. Ketua Dewan Paroki
yang aktif dalam kepengurusan Dewan Paroki adalah Bapak C.O. Tjiptosumarta Sedangkan
romo yang merintis pembangunan pastoral Dewan Paroki Romo Al. Wahyasudibya Pr.
Kemudian oleh Romo PC Yudodihardjo MSF dimulai Misa Wilayah yang sampai kini
tetap berlangsung.
Kehadiran Romo B. Pudjaharja Pr. pada tahun 1972 mengkokohkan pembangunan
pastoral serta gereja umat. Dengan bantuan Romo Al. Budyapranata diadakan
kaderisasi dan penataran guru-guru agama tingkat wilayah, retret umat serta
gerakan Diakon Awam. Struktur Dewan Paroki dan kepengurusan Dewan Paroki mulai
dibuat mekanismenya lebih serasi. Berhubung umat semakin bertambah, maka
dilakukan sensus atau pencatatan warga Katolik di seluruh Paroki Bintaran.
KUKSI Pertama di Bintaran
Tahun 1949 berlangsung KUKSI (Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia) pertama
di Bintaran. Dalam kongres tersebut tercetus kebulatan tekad yang berbunyi
ssebagai berikut:
"Kami Umat Katolik seluruh
Indonesia, sejak dua puluh lima tahun yang lalu senantiasa berusaha untuk
mengadakan satu Partai Katolik saja, yang meliputi seluruh daerah tanah air
kita. Hal mana ternyata dari riwayat perkembangan beberapa perkupulan Katolik,
yang bergerak bidang politik, pada tanggal 12 Desember 1949, berkumpul dalam
Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia di Yogyakarta, dengan berkat dan nikmat
Tuhan Yang Maha Esa, menyatakan dengan suara bulat, bahwa saat untuk mendirikan
satu Partai Katolik saja buat seluruh Indonesia telah tiba. Memutuskan,
menjelmakan:
1. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) yang didirikan di Surakarta tanggal
8 Desember 1945.
2. Partai Katolik Rakyat Indonesia (PKRI) Yang didirikan di Flores.
3. Partai Katolik Rakyat Indonesia (PKRI) di Makassar.
4. Partai Katolik Indonesia Timur (Parkit) di Timor.
5. Persatuan Politik Katolik Flores (Perpokaf) di Flores.
6. Permusyawaratan Majelis Katolik (Pemakat) di Menado.
7. Partai Katolik Indonesia di Kalimantan. mejadi satu partai kesatuan untuk
semua umat Katolik seluruh Indonesia, dengan nama Partai Katholik.
Kebulatan tekad yang di tuangkan sebagai resolusi tersebut lahir pada tanggal
12 Desmber 1949, dalam Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) yang
pertama. Pertemuan penting dan sangat bersejarah ini diselenggarakan di Aula
Bintaran, Yogyakarta, tanggal 7 sampai 12 Desember 1949.
KUKSI pertama diprakarsai oleh Bapak LJ. Kasimo dan diadakan di Bintaran,
karena Mgr. Soegijopranoto selama perang kemerdekaan, sekalipun berkedudukan
resmi di Kota Semarang, tetap memilih menetap di daerah republiken,
Yogyakarta, tepatnya, di Pasturan Bintaran.
Dalam hari-hari gawat di zaman pendudukan Belanda tadi, Aula Bintaran tampil
sebagai ajang Pertemuan para gerilyawan Katolik dengan Uskupnya., tidak
mengherankan, menga KUKSI pertama juga diselenggarakan di situ dan dihadiri
lengkap oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, Paduka Paku - Alam VIII, para menteri, pimpinan gereja di Indonesia,
umat Katolik serta Uskup Agung Mgr. Soegijopranoto
Pastor Paroki Bintaran duapulu tahun belakang ini, tepatnya sejak tahun 1984
hingga tahun 2005 , tercatat pastor-pastor kepala, dan pastor pembantu sebagai
berikut:
- Pastor kepala FX. Sutowibawa Pr sejak September
1984 hingga September 1989 dengan pastor pembantu V. Kirjito Pr, sejak
1984 hingga September 1987, dilanjutkan R. Hardiyanto Pr yang muulai
bertugas sejak September 1987 hingga September 1989.
- Berikutnya pastor kepala AK Wedyawiratna Pr, yang
bertugas sejak September 1989 hingga September 1992 dengan pastor
pembantu Chr. Sugiyono Pr. yang bertugas sejak Februari 1990 hingga September
1992.
- Selanjutnya, Chr Sugiyono Pr sejak September 1992
diangkat sebagai pastor kepala dengan pastor pembantu B. Saryanto Wirya
Putra Pr.
- Pada periode antara tahun 1992 sampai tahun 2000
pastor yang berkarya adalah pastor B. Saryanto Wirya Putra Pr sdebagai
pastor kepala dan Pastor Y.R. Edy Purwanto, Pr sebagai pastor pembantu dan
dilanjutkan Pastor F.X. Suhanto, Pr.
- Pada periode antara tahun 2000-2002 pastor kepala
dijabat oleh Pastor M.Y. Riawinarta, Pr dengan pastor pembantu Pastor AG.
Joko Sistiyarno, Pr.
- Selanjutnya, Pastor Antonius Jarot Kusno Priyono,
Pr sejak tahun 2003 bertugas sebagai pastor kepala dengan pastor pembantu
Pastor Michael Soegito, Pr dan Pastor FX, Agus Suryana Gunadi, Pr.
- Selanjutnya seiring kepindahan Pastor Antonius
Jarot Kusno Priyono, ke Paroki Ganjuran Bantul yang bertugas sebagai
pastor kepala adalah Pastor FX, Agus Suryana Gunadi, Pr. Dengan pastur
pembantu Pastur Agustinus Tejo Kusumantono, Pr (dari paroki wedi) dan
Pastor Michael Soegito, Pr sampai sekarang
Sumber :
Buku Kenangan 60 Tahun Gereja St. Yusup Bintaran Yogyakarta
Arsip Sekeretariat Gereja St. Yusup Bintaran