Kamis, 06 Februari 2014

Sejak awal, bangunan Gereja Santo Yusup di Kampung Bintaran, Yogyakarta, sudah memikat perhatian orang. Bentuk gedungnya khas, berlainan dengan bangunan gereja lain di masa itu. Bangunan tadi lebih dikenal sebagai "Gereja Jawa Pertama di Yogyakarta". Mengapa disebut sebagai Jawa? Pertama, karena sejak awal bangunan gereja tadi memang dikhususkan bagi masyarakat katolik Jawa.


Pada masa itu, negara kita ma­sih belum merdeka. Salah satu dam paknya adalah juga menyang­kut situasi kemasyarakatan pe­ngunjung gereja, masih terlampau besar jumlah warga Eropa.


Gereja Bintaran didirikan, mengingat semakin bertambahnya jumlah umat kathlik di Yogyakarta, yang tak mungkin tertampung lagi dalam sebuah gudang di timur Gereja Kidul Loji. Memang pada masa itu, gereja untuk masyarakat Jawa dibuat secara darurat dibelakang Broederan F.LC.


Gereja Santo Yusup Bintaran memang bukan bangunan gereja pertama di Yogyakarta. Beberapa gereja di bangun sebelumnya dan lebih dahulu berkarya namun dengan struktur kemasyarakatan ketika itu, walaupun bangunan gereja memang terbuka bagi setiap umat yang seiman tetap ada peraasan kurang nyaman mengikuti upacara perayaam keagamaaa di bangunan model baru. Masyarakat Jawa belum biasa duduk di bangku mereka masih mengenakan kain baik pria maupun wanita, sehingga jauh lebih sreg jika bisa duduk bersimpuh di lantai.


Perasaan kurang akrab semacam ini, justru sulit muncul dari masyarakat Jawa yang pendiam yang lebih senang membisu dalam menghadapi segala macam situasi. Sungguh beruntung mereka karena suasana timpang ini bisa baca oleh orang lain antara para pelopor pembangunan Gereja Bintaran, Romo H. Van Driessche dan Bapak Dawoed seorang tekis pribumi. Kecuali ini, soal canggungan orang Jawa masuk gereja bergaya Eropa, juga dipahami oleh Romo A. Van Kalken SJ, Regulier Ovreste Missi Jesuit di Jawa masa itu.


Mereka inilah yang mempelo­pori dan menggugah semangat saudara-saudara seiman yang ber­asal dari latar-belakang kebudaya­an Jawa. Mereka kemudian me­lontarkan gagasan, perlunya di­dirikan bangunan gereja baru di Yogyakarta yang memiliki keleng­kapan serta suasana, sesuai cita­rasa masyarakat setempat. Ketika itu, masyarakat Katolik Jawa mengikuti upacara misa suci terpaksa saling berdesak-desakan di sebuah gudang. Bangunan sem­pit, panjang dan sama sekali ku­rang memadai


Tentu saja, masyarakat Kato­lik Jawa bisa saja mengikuti misa di bangunan gereja setempat. Te­tapi, entah karena apa mereka justru memilih bersembahyang di gudang, samping Gereja Kidul Lo­ji .


Kecuali tak memadainya gu­dang di samping Gereja Kidul Loji, juga muncul keluhan, gudang tadi ternyata terlampau sempit, karena harus menampung kehadiran 'domba-domba' barunya. Ini se­mua akhirnya mendorong pemi­kiran, perlu dibangun sebuah gereja baru yang benar-benar cukup lapang untuk menampung kegiat­an umat Katolik yang senantiasa membesar jumlahnya Pilihan, ak­hirnya dijatuhkan ke sebidang ta­nah di Kampung Bintaran, sebelah timur Sungai Code, pada sudut jalan pertemuan Jalan Bintaran Kulon dan Bintaran Tengah.


Gereja yang diharapkan men­jadi Gereja Katolik Jawa tadi, dibangun seluruhnya dengan lan­dasan beton. Perancangnya J.H. Van Oten B.N.A. dan dilaksanakan pembuatannya oleh Holandsche Beton Maatschappij. Menurut catatan, bangunan pertama Gereja Bintaran ini berukuran panjang 36 meter sampai di bangku tempat komuni. Sebagian kiri dan kanan, sepanjang 20 meter. Lebar bagian tengah 10 meter dan bagian sisinya, masing-masing 5 meter, menjadikan keseluruhannya 20 meter.


Atap penaung bagian tengah tinggi 13 meter dari lantai. Atap tadi semula dicat putih, sesuai dengan suasana di sekitarnya. lebih penting juga, dalam ruang gereja, bangku-bangku masa hanya ada pada bagian belakang. Di sebelah depan, dihampar tikar-tikar bambu tutul untuk tempat duduk (lesehan) masyarakat Jawa yang ingin mengikuti upacara misa kudus. Dibanding dengan bangunan-­bangunan sezamannya, Gereja Bintaran mencatat keunikan tersen­diri. Sinar matahari dirancang bisa leluasa masuk menerangi bagian dalam ruangan. Sinar penerang tersebut tidak melalui jen­dela jendela, melainkan sebagai ganti, terdapat 72 buah kisi-kisi (rooster) ganda, berjajar samp­ing-menyamping dinding dari bahan beton cor.


Ketika dimasyarakat pertamakali, Gereja Bintaran belum memiliki orgel. Sebagai ganti, dibantu dengan harmonium. Guna lebih meman­tapkan umat yang hadir, pada dinding gereja di tempel reproduksi lukisan berwarna, berbingkai kayu. Gambar-gambar perjalanan kehidupan Tuhan Yesus ini ternyata sangat dihargai masyarakat, sebab mereka bisa memanfaatkannya sewaktu mengikuti upacara Jalan Salib.


Gereja Bintaran pertama kali diresmikan? Sebuah artikel dalam Majalah St. Claverbond, melukiskan suasananya sebagai berikut:
"Sejak pagi-pagi sekali, banyak umat berduyun-duyun ke Bintaran, bagian kota yang jadi jantungnya Yogyakarta. Ucapan serta salam tradisional kepada para romo, pagi itu membuahkan arti sangat istimewa. Karena semua pihak segera membayangkan bakal datangnya sebuah peristiwa besar. Pimpinan Gereja Katolik dari Batavia (sekarang Jakarta) akan hadir sendiri guna memberkati bangunan gereja baru. Semuanya diramaikan lewat pesta amat meriah".


"Sewaktu kami datang, sudah banyak warga masyarakat Jawa berkumpul di halaman gereja. Sekelompok pandu (sekarang Pramuka) berkulit sawo matang terbakar oleh sinar rnatahari berdiri tegap, berjajar memanjang di depan pintu gereja yang masih tertutup. Tak seorangpun diijinkan masuk, sebelum saat peresmian tiba."


"Sesaat jarum jam melewati angka tujuh, waktu penantian berakhir. Yang Mulia Provicaris Romo A.Th. Van Hoof SJ langsung menuju ke depan. Diawali para pelayan misa (putera altar) serta diiring dua rohaniawan terkemuka, Romo Van Kalken SJ Regulier Ovreste Missi Jesuit di Jawa Romo G. Riestra SJ pastor kepala di Yogyakarta masa itu. Prosesi keliling gereja segera dilakukan dilengkapi dengan pemberkatan serta doa keselamatan bangunan.


"Setelah upacara di luar berakhir, dengan amat perlahan umat memasuki bangunan baru yang sejak saat itu sudah resmi menjadi Rumah Tuhan. Nyanyian bersama langsung membahana, dilakukan oleh para bruder, diban­tu kelompok umat pria serta para frater dari Kolese Ignatius".


"Seluruh tempat di bagian de­pan penuh sesak. Di atas tikar yang digelar memenuhi ruangan, masyarakat Katolik Jawa duduk berhimpit-himpit. Di sebelah kiri duduk para lelaki dan anak-anaknya, sedang di sebelah kanan du­duk para ibu dan anak perempuan mereka. Di belakang, di atas bang­ku, duduk para romo, bruder, fra­ter, warga masyarakat Eropa dan orang-orang Jawa terkemuka".


"Miss Kudus yang teramat khit­mad dimulai. Quasimodo geniti infantes. Nyanyian bersama ber­gema memenuhi sudut-sudut rua­ngan, bagai putera yang baru saja dilahirkan. Dan .... lihatlah ke sana. Di arah depan, di atas tikar-­tikar bambu tutul, merekalah orang-orang yang baru saja terla­hirkan, duduk bersila. Kebanyak­an dengan hati sangat sederhana, namun penuh hasrat dan kemau­an suci, guna ikut serta meraih harta rohani di dalam Kristus".


Minggu S April 1934, suasana peresmian Gereja Santo Jusup di Bintaran Yogyakarta memang amat bersemarak. Dalam ruangan luas di belakang gereja, Aula Pa­roki, yang sebagian dimanfaatkan untuk ruang sekolah dasar, ha­dirin diminta berkumpul.


Pidato sambutan disampa oleh Romo Provicaris, pimpinan Missi serta dua orang wakil masyarakat Katolik Jawa, Raden B. Djajaendra dan Raden Mas L. Jama Keduanya bekas murid sekolah guru Muntilan yang saat itu bekerja di sekolahan Bruderan Yogyakarta.


Hari itu, pada peresmian penggunaan Gereja Bintaran, jelas merupakan hari sarat kegembiraan. Hanya sayangnya, salah seorang pemrakarsa pembangunannya, Romo Van Driessche, tak bisa datang menghadiri. Beliau kebetulan terbaring di rumah sakit dan para dokter dengan berat hati tidak memberikan izin berangkat ke Bintaran. Tetapi tak mungkin dingkari, hati dan jiwa beliau, menyertai kegembiraan umat dalam upacara semarak menyambut datangnya gereja baru milik merereka.


Pada tahun 1959 di Bintaran, upacara pesta perak berlang sung penuh ke­sederhanaan. Di samping Misa Kudus Tri Romo, sebagai tanda syukur atas Berkah Dalem kepada gereja pada tanggal 2 sampai 7 Agustus 1959 diselenggarakan retret untuk umat separoki guna lebih menggembleng kekuatan iman serta mengobarkan kehidupan keagamaan di Paroki Bintaran.


Peringatan bersifat kerohanian empat puluh enam tahun yang lalu; ditutup dengan pertunjukan wayang golek. Ditampilkan tanaggal 16 Agustus malam. Bertindak sebagai dalang Ki Dalang Sukai, putera Ki dalang Widi dari Sentolo, Kulon Progo. Malam itu, dipentaskan kisah "Jumenenganipun Proja Ngamarta" (Berdirinya Kerajaan Amarta).


Romo pertama yang ditugaskan berkarya di Bintaran adalah Romo A.A.C.M. de Kuyper SJ dibantu Romo Soegijopranoto SJ. Mereka berdua sudah dipercayai memegang Paroki Bintaran sejak tanggal 12 Oktober 1933, satu tahun sebelum bangunan gereja diresmikan penggunaannya.


Tahun 1836 Romo de Kuyper piadah ke Magelang. Secara otomatis Romo Soegijopranoto menjadi pejabat kepala. Hal ini langsung dikukuhkan setahun kemudian. Sebagai pembantu ditunjuk Romo B.Th. Hagdorn. SJ.


Hanya tiga tahun Romo Soegijopranoto memimpin Gereja Bintaran, sebab mulai tanggal 1 Agustus 1940 beliau segera dipromosikan menduduki jabatan Vikeep Keuskupan Semarang. Demikianpula dengan Romo Hagdorn, beliau dialihtugaskan ke Klaten dan kedudukannya digantikan Romo Jac Huygens SJ.


Sejak tahun 1941 ditetapkan pimpinan baru di Bintaran. Guna mengganti Romo Soegijopranoto ditunjuk Romo C. Martawerdaja SJ. Dalam karyanya ia dibantu Romo M. Reksaatmadja SJ.


Hampir sepuluh tahun beliau berdua berkarya di Bintaran, sam­pai akhirnya pimpinan tinggi ge­reja menetapkan Romo J. Drijkstra SJ dibantu seorang Imam Praja menangani gereja kita.


Tahun 1963, pimpinan gereja beralih ke Romo P. Kijm SJ dibantu Romo Ant. Soenarjo SJ. Romo Kijm terus memimpin Bintaran hingga tahun enam puluhan.
Pada tahun 1955 yang mem­bantu Romo Kijm adalah Romo V. Soekosoemarto SJ dan Romo A Dibyawahjana SJ. Sementara di tahun 1960 Romo Kijm dibantu Romo P. Poerwohoetomo SJ.­


Di pertengahan tahun enam puluh empat, romo yang berkarya di Bintaraa semakin banyak. Em­pat romo pernah tercatat bertugas dalam periode ini: Romo H. Wak­kers SJ selaku pimpinan dibantu Romo P. Kijm ST, V. Soeko­soemarto SJ dan A Sontoboedojo SJ.


Setahun kemudian jumlah penggembala umat paroki bertam­bah lagi. Pimpinan tetap dipegang Romo Wakkers tetapi romo pen­dampingnya adalah Romo M. Fe­rouge SJ, B. Nissen SJ, Th. van der Putten SJ, V. Soekosoemarto SJ dan S. Budyardja SJ.


Tahun 1966 Romo Kepala di Bintaran dipegang Romo G. Oos­thout SJ dibantu Romo C. Mar­tawardaja, B. Nissen dan Soeko­soemarto.


Susunan tersebut tetap hingga tahun 1967. Romo pimpinan ma­sih Romo Oosthout, didampingi Romo G. Ferouge, C. Mertawerdaja dan B. Nissen. Kepemimpinan di Bintaran bisa bertahan agak paajang, karena pergantian jabatan baru dilakukan tiga tahun kemudian. Selaku romo kepala ditetapkan Romo B. Soemarno SJ dibantu Romo G. Oosthout.


Satu tahun kemudian susunannya diperbarui. Pimpinan tetap Romo B. Soemarno namun pendampingnya Romo J. Mulder SJ dan Romo Ign. Natakusuma Pr.


Mulai periode tahun ini pula kepemimpinan serta penanganan di Bintaran dipegang romo-romo projo. Sebab di samping R Natakusuma datang juga Romo P.C. Judodihardjo MSF.


Tahun 1972 dengan datangnya Romo Bl. Pujaraharja Pr. (sekarang Uskup Keta­pang) pembangunan pastoral dan Gereja Umat semakin intensif. Di­bantu oleh Romo Al. Budyapranata Pr. Romo Pujo mulai mengadakan kaderisasi dan penataran guru­-guru agama tingkat wilayah, retret umat dan gerakan Diakon Awam. Struktur Dewan Paroki dan kepe­ngurusan Dewan Paroki mulai di­buat mekanisme yang lebih serasi dan lebih mudah dilaksanakan, misalnya dengan pertemuan ple­no, seksi dan harian. Berhubung tambahnya umat Katolik semakin banyak, maka diadakan sensus atau pencatatan warga Katolik di seluruh paroki Bintaran.


Perkumpulan ibu-ibu Janda, yang disebut Elisabeth dan Woro­semedi mulai muncul pada tahun 1974, di bawah pimpinan Ibu C Hadisuseno, Ibu Soemoatmadja dan Ibu Murtiwidjono. Karena tahun 1974 Gereja Bintaran dipakai sebagai KEVIKEPAN, maka banyak kegiatan yang super-paroki mulai muncul. Beberapa pemugaran di luar maupun di dalam gedung gereja mulai diadakan antara lain: pagar Gereja, intern pasturan dan lain bagainya.


Aula Bintaran berkali-kali menampung kegiatan pastoral yang berbeda-beda. Dengan hilangnya kegiatan-kegiatan lama, munculah kegiatan baru RUANG BELAJAR untuk umum, ruang perpusatakaaa untuk sekolah, guru agama dan umum


Tahun 1875 KURSUS PERKAWINAN (Pembinaan Persiapan Keluarga) yang diprakarsai Romo Al. Budyapranata Pr mulai di­canangkan buat seluruh DIY hing­ga saat ini. Dan kegiatan ROM­SOS KAS. juga berpusat di tem­pat yang sama.


Beberapa romo lain juga ikut andil dalam pembangunan Gereja Umat ini antara lain romo D. Win­dyawiryana Pr., Romo Ign. Su­harya (sekarang Uskup Agung Semarang) dan Romo Al. Purwahadi­wardaya MSF. Terutama pem­benahan liturgi dan kebaktian umat mulai terasa. Putra Altar mulai hidup dengan pesat, koor wilayah berkembang dimana-ma­na. dan jadwal petugas liturgi mingguan secara rutin sudah bisa ber­jalan dengan lancar.


Tahun 1978 hadir Romo L Wir­yadarmaja Pr, Romo JC. Taruno Sayoga, Romo Ign. Hariyadi (untuk kedua kalinya) dan Romo P. Supriyanta Pr. Gerakan muda-mudi yang bergabung dalam K3AS mulai nampak. FORUM KOMUNI­KASI antar Dewan Paroki se Kotamadya dan DIY mulai ber­jalan dan terutama dikalangan kaum muda. Romo L. Wiryadarmaja Pr. berhasil pula mencanangkan tonggak untuk Gereja Baru di PRINGGOLAYAN sebagai putera sulung paroki Bintaran. Sebelumnya telah dirintis pula pelebaran sayap Kring Mathias I (Gedong Kuning) hingga terhimpun umat cukup untuk sebuah Gereja baru. Dan swasembada dari umat mengalir terus berkat jasa Bapak Dewasusanta dan Bapak Sukirjo.


Sekitar tahun 1984 hadirlah Romo J. Sudiarta Pr. (sebagai pejabat Pastor Kepala Bintaran) bersama Romo FX. Jakapranawa. Yang telah dirintis oleh romo-romo sebelumnya diteruskan sehingga Paroki Bintaran tetap membawa warna, dan citra yang sama. Demikian pula Gereja Pringgolayan akhirnya selesai dan dapat dipakai sebagai tempat ibadat.


Berdasarkan data, antara bulan Juli 1935 sampai Juni 1936, warga Paroki Bintaran berjumlah 4.695 orang diantaranya warga Eropa 26 orang. Perbandingan ini mengkokohkan bahwa Bintaran memang Gereja Katolik Jawa di Yogyakarta.
Kegiatan selama tahun pertama karyanya juga cukup menge­sankan. Selama itu telah di per­mandikan saudara-saudara baru dewasa 233 orang dan baptis anak-­anak mencapai 177.


Dari 1.429 anak kecil yang setia mengikuti pelajaran agama di hari Minggu, 234 di antara mereka di­izinkan menyambut komuni per­tama. Pada waktu perayaan Pas­kah tahun itu, jumlah umat pe­nyambut kamuni Paskah men­capai 1.865 orang.
Selama setahun antara Juli 1935 dan Juni 1936 umat yang da­tang untuk ikut menyambut ko­muni seluruhnya 98.022 orang.


Pada tahun-tahun pertama karyanya, Gereja Bintaran menjadi saksi pernikah Katolik sebanyak 100 kali pernikahan campuran lewat despensasi mencapai 32 kali


Setiap Hari Minggu dan hari hari besar, ibadat di Biataran pada masa itu dimulai pukul 06.00 dngan misa agung. Kemudian pukul 08.00 misa tanpa nyanyian. Sore hari, pukul 17.30 diselenggaraka perayaan astuti


Di hari-hari biasa, pada tahun pertama tersebut, gereja Bintara menyelenggarakan misa setiap pukul 06.30 pagi. Hanya pada setiap Jumat pertama, misa berlangsung dua kali, pukul 05.30 dan 06.30 Dilengkapi oleh perayaan astuti pada sore hari pukul 17.30. Gambaran tersebut sengaja agak lengkap dikutipkan, untuk bisa ikut menandai, bagaimana ke­sibukan gereja kita di masa itu. Sebelum Perang Dunia ke II, sempat perkembang di paroki kita kegiatan Katholieke Wandowo, Pusoro. Katholieke Wandowo, Mudo Katholik, Mudo Wanito Katholik dan Ruktiwuri/Pangruktilaya.


Bersama Wanita Katolik yang baru mekar dan berkembang di Bintaran, tahun 1937 MWK mengadakan kegiataan di 'kamar ijo' Pasturan Bintaran berupa kursus ketrampilan (menyulam, membuat cor­sage, merangkai bunga dan berbagai kegiatan ke wanitaan lainnya). Para tokoh awam yang banyak berperan dalam masa tersebut adalah Bapak Djokarso, Djajengpragota, Djojoen dra, Jama, Sugiri, Murkilat Sidik dan Willy Setiardja.


Kecuali ini, terintis kegiatan media massa yang dipelopori oleh Romo Al. Soegijopranoto SJ beru­pa majalah berbahasa Jawa, Swa­ratama.


Pada masa periode perjuangan bersenjata aatara tahun 1942 sam­pai 1949, suasana Paroki Bintaran; juga berganti. Pada periode ini Gereja Katolik memang mengalami cobaan goncangan cukup besar. Banyak romo yang terpaksa harus masuk kamp tawanan (diinternir) bahkan dilarang melaksanakan kegiatannya. Tetapi berkat gigihan para katekis awam yang amat tangguh, bagaimanapun kegiatan Gereja Bintaran tetap berjalan.


Dalam situasi semacam ini pula, Aula Paroki Bintaran menjadi ajang tempat berlangsunnya Konggres dan rapat-rapat. Bahkan gereja kita menyumbang tempatnya, dipakai selaku markas darurat. Pada saat yang hampir bersamaan, sekitar tahun 1947 sekolah guru Katolik dan SMA de Britto juga mulai tumbuh dari Bintaran. Berawal dengan menempati komplek aula serta Bintaran Ledok, barat gereja. Hampir bersamaan dengan itu, sekolah Santo Thomas (yang sekarang sudah berkembang menjadi SMA St. Thomas dan Yayasan Marsudi luhur) juga ber­diri.


Tahun 1948, Gereja Bintaran mulai bergerak dengan semangat barv. Hal ini didukung oleh terselenggaranya Kongres Umat Katholik Seluruh Indonesia (KUKSI) dan Konggres Partai Katholik. Wanita Katholik (MK) yang se­bagian besar pengurusnya dari Pa­roki Bintaran juga ikut aktif me­ngambil bagian dalam pertemuan­pertemuan tersebut.


Mgr. Soegijopranoto SJ (alm.) sesudah ditahbiskan menjadi Us­kup Semarang sempat mampir lagi dan beliau ikut mendorong gerak­an-gerakan kemasyarakatan yang sedang mulai tumbuh serta ber­kembang di Bintaran. Pada saat itu pula, pernah Presiden Soekar­no menyempatkan diri berkunjung ke paroki kita, untuk mengadakan pertemuan dengan Romo Soe­gijopranoto. dicatat, Romo Dijkstra bersama Bersama Bapak Sarman merintis gerakan Tani/Buruh Pancasila yanga markan besarnya di Bintaran. Demikian pula majalah Probo sebagai majalah paroki dan media massa umat Katolik yang mulai ikut menempati salah satu ruangan di Aula Paroki Bintaran dengan bimbingan Romo S. Danuwidjaja Pr.


Kurang lebih enam tahun kemudian, sebuah majalah muda-mudi yang bergairah tinggi, mangat, juga menempati ruang di dekat Kantor Mingguan Probo. Mulai pertama, Semangat datang di Bintaran dengan nama Spirit.


Kegiatan sosial yang memuncak di Bintaran adalah sewaktu umat berhasil menghimpun pemberangkatan para transmigran menuju Lampung, Sumatera. Tempat transit para saudara kita juga mengambil lokasi di Aula Bintaran. Dari tempat yang sama, berhasil dikembangkan gerakan gereja intern. Yakni dengan kegiatannya Maria Congregatie (MC) ketika melaksanakan apel besar di tanah lapang Trenggono tahun 1954 bertepatan dengan kegiatan peringatan 100 memasyarakatnya.


Tak hanya kegiatan kemasyarakatan berkembaag dalam periode ini. Sebab Yuvenat atau 1 pat pendidikan para calon bn SJ juga Pernah berada di lingki an Bintaran, menempati Kantor Yayasan Kanisius cabang Yogyakarta yang ada sekarang ini kegiatan khusus lainnya juga tambah banyak Kursus menjahit bagi para ibu dan kursus sosial ekonomi yang diprakarsai oleh Badan Usaha Wanita Katoolik (BUWK) serta kegiatan Werdata­ma.


Partisipasi gereja dalam mem­bangun masyarakatnya nampak sekali dengan ikut sertanya umat Bintaran dalam Partai Katolik yang masa itu dipimpin oleh Ba­pak C.O. Tjiptasumarta. Periode perkembangaan dan pertumbuhan ini mencapai puncaknya sekitar pergolakan G30S/PKI. Pada waktu inilah Gereja Bintaran menam­pilkan diri sebagai Youth Centre, di mana para sarjana Katolik ISKI dan mahasiswa PM KRI bermarkas di Bintaran.


Begitu pula sebuah pemancar radio bersemangat Katolik mulai mengudara dengan nama Bikima, kependekan dari Bintaran Kidul Lima. Berbareng dengan ini, rom­bongan drum-band kebanggaan umat Katolik di masa itu, Jaya Katolik, semakin sering menghiasi parade baris-berbaris di Kota Yogyakarta. Gerakan-gerakan ba­ru ini dipelopori oleh Romo B. Nissen SJ. Di puncaki oleh berkembangnya rombongan paduan suara Koor Sonus Serius, yang ikut me­warnai upacara liturgi dalam Ge­reja Bintaran.


Angin baru meniup Paroki Bin­taran dengan adanya pembagian batas wilayah paroki, seperti yang ada hingga sekarang ini Pada ta­hun 1968 dibentuk Dewan Paroki untuk pertama kalinya berikut kepengurusan kring. Ketua Dewan Paroki yang aktif dalam kepe­ngurusan Dewan Paroki adalah Bapak C.O. Tjiptosumarta Se­dangkan romo yang merintis pembangunan pastoral Dewan Paroki Romo Al. Wahyasudibya Pr. Kemudian oleh Romo PC Yudodihardjo MSF dimulai Misa Wilayah yang sampai kini tetap berlangsung.


Kehadiran Romo B. Pudjaharja Pr. pada tahun 1972 mengkokohkan pembangunan pastoral serta gereja umat. Dengan bantuan Romo Al. Budyapranata diadakan kaderisasi dan penataran guru-guru agama tingkat wilayah, retret umat serta gerakan Diakon Awam. Struktur Dewan Paroki dan kepengurusan Dewan Paroki mulai dibuat mekanismenya lebih serasi. Berhubung umat semakin bertambah, maka dilakukan sensus atau pencatatan warga Katolik di seluruh Paroki Bintaran.
KUKSI Pertama di Bintaran


Tahun 1949 berlangsung KUKSI (Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia) pertama di Bintaran. Dalam kongres tersebut tercetus kebulatan tekad yang berbunyi ssebagai berikut:

"Kami Umat Katolik seluruh Indonesia, sejak dua puluh lima tahun yang lalu senantiasa berusaha untuk mengadakan satu Partai Katolik saja, yang meliputi seluruh daerah tanah air kita. Hal mana ternyata dari riwayat perkembangan beberapa perkupulan Katolik, yang bergerak bidang politik, pada tanggal 12 Desember 1949, berkumpul dalam Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia di Yogyakarta, dengan berkat dan nikmat Tuhan Yang Maha Esa, menyatakan dengan suara bulat, bahwa saat untuk mendirikan satu Partai Katolik saja buat seluruh Indonesia telah tiba. Memutuskan, menjelmakan:

1. Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI) yang didirikan di Surakarta tanggal 8 Desember 1945.
2. Partai Katolik Rakyat Indo­nesia (PKRI) Yang didirikan di Flores.
3. Partai Katolik Rakyat Indone­sia (PKRI) di Makassar.
4. Partai Katolik Indonesia Ti­mur (Parkit) di Timor.
5. Persatuan Politik Katolik Flo­res (Perpokaf) di Flores.
6. Permusyawaratan Majelis Ka­tolik (Pemakat) di Menado.
7. Partai Katolik Indonesia di Kalimantan. mejadi satu partai kesatuan untuk semua umat Katolik seluruh Indonesia, de­ngan nama Partai Katholik.
Kebulatan tekad yang di tuangkan sebagai resolusi tersebut lahir pada tanggal 12 Desmber 1949, dalam Konggres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI) yang pertama. Pertemuan penting dan sangat bersejarah ini dis­elenggarakan di Aula Bintaran, Yogyakarta, tanggal 7 sampai 12 Desember 1949.
KUKSI pertama diprakarsai oleh Bapak LJ. Kasimo dan diada­kan di Bintaran, karena Mgr. Soegijopranoto selama perang kemer­dekaan, sekalipun berkedudukan resmi di Kota Semarang, tetap memilih menetap di daerah re­publiken, Yogyakarta, tepatnya, di Pasturan Bintaran.
Dalam hari-hari gawat di za­man pendudukan Belanda tadi, Aula Bintaran tampil sebagai ajang Pertemuan para gerilyawan Katolik dengan Uskupnya., tidak mengherankan, menga KUKSI pertama juga diselenggarakan di situ dan dihadiri lengkap oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Paduka Paku - Alam VIII, para menteri, pimpinan gereja di Indonesia, umat Katolik serta Uskup Agung Mgr. Soegijopranoto
Pastor Paroki Bintaran duapulu tahun belakang ini, tepatnya sejak tahun 1984 hingga tahun 2005 , tercatat pastor-pastor kepala, dan pastor pembantu sebagai berikut:

  1. Pastor kepala FX. Sutowibawa Pr sejak September 1984 hingga September 1989 dengan pastor pembantu V. Kirjito Pr, sejak 1984 hingga September 1987, dilanjutkan R. Hardiyanto Pr yang muulai bertugas sejak September 1987 hingga September 1989.
  2. Berikutnya pastor kepala AK Wedyawiratna Pr, yang ber­tugas sejak September 1989 hingga September 1992 de­ngan pastor pembantu Chr. Sugiyono Pr. yang bertugas sejak Februari 1990 hingga Sep­tember 1992.
  3. Selanjutnya, Chr Sugiyono Pr sejak September 1992 diangkat sebagai pastor kepala dengan pastor pembantu B. Saryanto Wirya Putra Pr.
  4. Pada periode antara tahun 1992 sampai tahun 2000 pastor yang berkarya adalah pastor B. Saryanto Wirya Putra Pr sdebagai pastor kepala dan Pastor Y.R. Edy Purwanto, Pr sebagai pastor pembantu dan dilanjutkan Pastor F.X. Suhanto, Pr.
  5. Pada periode antara tahun 2000-2002 pastor kepala dijabat oleh Pastor M.Y. Riawinarta, Pr dengan pastor pembantu Pastor AG. Joko Sistiyarno, Pr.
  6. Selanjutnya, Pastor Antonius Jarot Kusno Priyono, Pr sejak tahun 2003 bertugas sebagai pastor kepala dengan pastor pembantu Pastor Michael Soegito, Pr dan Pastor FX, Agus Suryana Gunadi, Pr.
  7. Selanjutnya seiring kepindahan Pastor Antonius Jarot Kusno Priyono, ke Paroki Ganjuran Bantul yang bertugas sebagai pastor kepala adalah Pastor FX, Agus Suryana Gunadi, Pr. Dengan pastur pembantu Pastur Agustinus Tejo Kusumantono, Pr (dari paroki wedi) dan Pastor Michael Soegito, Pr sampai sekarang

Sumber :
Buku Kenangan 60 Tahun Gereja St. Yusup Bintaran Yogyakarta
Arsip Sekeretariat Gereja St. Yusup Bintaran



1 komentar: